1.1 Tujuan Penulisan
Artikel ini dibuat
untuk membantu para pembaca memahami tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA),
khususnya tentang Fiqih dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA). Ilmu fiqih
sangatlah penting bagi umat beragama Islam, khususnya bagi para penganut
Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA). Maka dari itulah tujuan penulisan artikel ini
dibuat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah ?
2. Bagaimanakah
urgensitas ilmu fiqih dalam Islam ?
3. Apakah
yang dimaksud dengan ijtihad dan taklid ?
4. Mengapa
umat Islam bermazhab ?
5. Apakah
yang dimaksud dengan talfiq ?
6. Apakah
yang menjadi penyebab dalam perbedaan bermazhab ?
7. Apakah
itu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah ?
8. Bolehkah
hadits dha’if diamalkan ?
9. Bagaimanakah
hukum bid’ah ?
10. Bagaimanakah
metode istinbath Hukum Bahtsul Masail NU ?
1.3 Pembahasan
A.
Pengertian
Ahlussunnah Wal Jama’ah
Aswaja merupakan
singkatan dari istilah ahlun, as-sunnah,
wa al-jama’ah, dari situ ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut:
1. Ahlun
berarti
keluarga, golongan, atau pengikut.
2. As-Sunnah
yaitu
segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Meliputi perkataan,
perbuatan dan ketetapannya.
3. Al-Jama’ah
yakni
apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidin.
Sebagaimana telah
dikemukakan oleh Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailany, “yang dimaksud dengan al-Sunnah
adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. (meliputi ucapan perilaku
serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-jama’ah adalah segala sesuatu
yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah Saw.”
Yang disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah
orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Saw, dan jalan para
sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlaq
hati. (al-Kawakib al-Lamma’ah, hal. 8-9).
Jadi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan
ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para
sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain ada tiga ciri khas kelompok ini,
yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya.
Ketiga prinsip tersebut adalah tawassuth yaitu
sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan,
prinsip tawazzun (seimbang dalam
segala hal termasuk dalam penggunaan dalil aqli
dan dalil naqli), dan i’itidal (tegak lurus).
B.
Urgensitas
Ilmu Fiqih
Unsur utama yang
menjadi pilar ajaran Islam adalah fiqih. Urgensitas ilmu Fiqih dalam Islam
tidak diragukan lagi. Ia adalah sistem kehidupan yang memiliki kesempurnaan,
keabadian, dan sekian banyak keistimewaan. Ia menghimpun dan merajut tali pesatuan
umat Islam. Ia menjadi sumber kehidupan mereka. Umat Islam akan hidup selama
hukum-hukum fiqih masih direalisasikan. Mereka akan mati apabila pengamalan
fiqih telah sirna dari muka bumi. Fiqih juga bagian yang tidak terpisahkan dari
sejarah kehidupan mereka di mana pun mereka berada, Ia menjadi salah satu
kebanggaan terbesar umat Islam.
Hal ini tidak lepas
dari sekian banyak karakter dan keistimewaan fiqih yang membedakannya dengan
undang-undang positif produk pemikiran manusia. Pertama, fiqih memiliki pondasi wahyu ilahi. Kedua, fiqih besifat uniersal. Ketiga,
fiqih berkaitan dengan etika. Selain itu fiqih juga menjadi pendorong dan
penggerak terpeliharanya keutamaan, terealisasinya idealisme yang luhur, dan
termanifestasinya etika yang lurus.
C.
Ijtihad
dan Taklid
Pembicaraan tentang
fiqih Islam tidak akan sempurna tanpa membicarakan ijtihad dan taqlid.
I. Pengertian Ijtihad
Secara
etimologi kata ijtihad ( اجتھاد ) berasal dari kata al-jahd, al juhd, ( الجھد
) dan ath-thaqat, yang artinya kesulitan, kesusahan, dan juga berupa
suatu kesanggupan atau kemampuan (almasyaqat). Kata Al-Juhd menunjukkan
pekerjaan yang sulit dilakukan,(lebih dari pekerjaan biasa). Sedangkan kata
ijtihad yaitu bentuk mashdar tsulatsi mazid dari kata kerja
ijtahada-yajtahidu-ijtiihaadan yang berarti جدّ و بذل وسعھا , bersungguhsungguh
dan mencurahkan segala kemampuannya, kata ijtihad juga bermakna kesungguhan,
kegiatan dan ketekunan.
Imam Al-Jauhari menyebutkan bahwa kata “Al-Jahdu
dan al-Juhdu” kedua-duanya memiliki arti kemampuan, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah :
الَّذِينَ يلَْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي
الصَّدَقَاتِ
وَالَّذِينَ لا يَجِدُونَ إِلا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ
مِنْهُمْ وَلهَمُْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ
…(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang
yang mencela orangorang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan
(mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar
kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan
membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih. QS At-Taubah
: 79.
ijtihad secara bahasa memiliki makna
yang tidak jauh berbeda dengan istilah syara’ yaitu :
بذْلُ الجْهدِ
لِإِدراكِ أَمرٍ شاقٍّ
Mengerahkan kesungguhan untuk memperoleh
suatu perkara yang berat.
Sedangkan
ijtihad secara istilah adalah “Mencurahkan semua kemampuan untuk mencari
(jawaban) hukum yang bersifat dzanni, hingga merasa dirinya tidak mampu untuk
mencari tambahan kemampuannya itu.”
II.
Pengertian
Taklid
Taklid
atau
Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau
alasannya. Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui
dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut Muqallid.
Taqlid yang umum
:
seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya
dan azimah-azimahnya dalam semua urusan agamanya. Dan para ‘ulama telah
berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat
wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang
muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara
mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya
dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi
wa sallam.
Taqlid yang
khusus :
seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika
ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah
secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.
Pada dasarnya
hukum asal dari taklid adalah dilarang, ia menjadi dibolehkan ketika seseorang
tidak mampu untuk berijtihad dan menggunakan potensi akalnya dalam memahami
nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.
D.
Mengapa
Umat Islam Bermazhab ?
Sebagai keniscayaan
dari fenomena ijtihad dan taklid yang menjadi realitas keagamaan kaum Muslimin
sepanjang masa, adalah lahinya tradisi bermazhab. Mazhab terbentuk dari banyak
persoalan yang menjadi perselisihan di kalangan ulama. Lalu hasil pendapat
ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Secara bahasa arti
mazhab adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata zahaba - yazhabu –
zihaaban. Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut. Sedangkan
secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiyah dalam mengambil
kesimpulan hukum dari kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang
kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqih.
Mazhab Tidak Hanya
Empat Saja Sesungguhnya mazhab fiqih itu bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih
ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun
yang terkenal hingga sekarang ini memang hanya 4 saja.
a)
Pentingnya
Bermazhab
Banyak orang salah
sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu berarti sama dengan perpecahan,
sebagaimana berpecah umat lain dalam sekte-sekte. Sehingga ada dari sebagian
umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab, bahkan ada yang sampai anti
mazhab.
Penggambaran yang
absurd tentang mazhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang
benar tentang hakikat mahzab fiqih. Kenyataannya sebenarnya tidak demikian.
Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi dari perpecahan atau pereseteruan,
apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam.
Sebaliknya, adanya
mazhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada Al-Quan
dan As-Sunnah. Kalau ada seorang bernama MasPaijo, mas Paimin, mas Tugirin dan
mas Wakijan bersikap yang anti mazhab dan mengatakan hanya akan menggunakan
Al-Quran dan As-Sunnah saja, sebenarnya mereka masing-masing sudah menciptakan
sebuah mazhab baru, yaitu mazhab Al-Paijoiyah, Al-Paiminiyah, At-Tugiriniyah
dan Al-Wakijaniyah.
Sebab yang namanya
mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang dalam memahami teks Al-Quran
dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya untuk memahami kedua sumber ajaran
Islam itu, pada hakikatnya sedang bermazhab.
Kalau tidak mengacu
kepada mazhab orang lain yang sudah ada, maka minimal dia mengacu kepada mazhab
dirinya sendiri. Walhasil, tidak ada di dunia ini orang yang tidak bermazhab.
Semua orang bermazhab, baik dia sadari atau tanpa disadarinya.
b)
Lalu
bolehkah seseorang mendirikan mazhab sendiri?
Jawabnya tentu saja
boleh, asalkan dia mampu meng-istimbath (menyimpulkan) sendiri setiap detail
ayat Al-Quran dan As-sunnah. Kalau kita buat sedikit perumpamaan dengan dunia
komputer, maka adanya mazhab-mazhab itu ibarat seseorang dalam berkomputer, di
mana setiap orang pastimemerlukan sistem operasi (OS).
Tidak mungkin seseorang
menggunakan komputer tanpa sistem operasi, baik Windows, Linux, Mac OS atau
yang lainnya. Adanya beragam sistem operasi di dunia komputer menjadi hal yang
mutlak bagi setiap user, sebab tanpa sistem operasi, manusia hanya bicara
dengan mesin.
E.
Talfiq
Kata talfiq dalam bahasa Arab merupakan bentuk
isim masdar dari لفّق-
يلفًق - تلفيقا
yang secara etimologi berarti mencampuradukkan
atau menggabungkan satu persoalan dengan persoalan lain. Atau, talfiq juga
diartikan menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda.
Talfiq menurut terminologinya berarti
العمل في المسئلة بحكم مؤ لف من مجموع مذ هبين فاكثر
Artinya:
“Menyelesaikan satu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas
kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.”
Seperti talfiq dalam masalah persyaratan sahnya nikah, yaitu dengan cara:
mengenai persyaratan wali nikah mengikuti satu mazhab tertentu, sedangkan
mengenai persyaratan penyebutan mahar mengikuti mazhab yang lain.
F.
Perbedaan
Mazhab
Di satu sisi, mengikuti
salah satu mazhab empat menjadi suatu keharusan bagi kaum Muslimin. Akan tetapi
di sisi lain, kita dapati, diantara mazhab-mazhab empat ada sekian banyak
perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat
diantara mazhab fiqih yang empat memang banyak sekali terjadi dan menjadi
realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi apabila dicermati,
perbedaan pendapat itu bukan unsur kekurangan dan sumber malapetaka bagi kaum Muslimin. Bahkan
sebaliknya, perbedaan pendapat itu termasuk unsur kesempurnaan syariat Islam
dan menjadi rahmat bagi kaum Muslimin.
Mazhab adalah pokok
pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah;
atau mengistinbathkan hukum Islam. Munculnya mazhab, sebagai bagian dari proses
sejarah penetapan hukum islam tertata rapi dari generasi sahabat, tabi’in,
hingga mencapai masa keemasaan pada khilafah Abbasiyah, akan tetapi harus
diakui madzhab telah memberikan sumbangsih pemikiran besar dalam penetapan
hukum fiqh Islam.Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/mazhab dikarenakan
perbedaan persepsi dalam ushul fiqh dan fiqh serta perbedaan interpretasi atau
penafsiran mujtahid.Menganut paham untuk bermahzab, dikarenakan faktor
“ketidakmampuan” kita untuk menggali hukum syariat sendiri secara
langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Bermadzhab secara
benar dapat ditempuh dengan cara memahami bahwa sungguhnya pemahaman kita
terhadap perbedaan pendapat di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang sehat
dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam.
Berikut
penjelasan penyebab terjadinya perbedaan, metode penetapan penggalian hukum
(thariqah al-istinbath) di kalangan Imam mujtahid. Dimana bisa disimpulkan
secara garis besar meliputi;
Pertama: perbedaan dalam sumber hukum (mashdar
al-ahkam);
Kedua: perbedaan dalam cara memahami nash
dan;
Ketiga: perbedaan
dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.
G.
Ibadah Mahdhah
dan Ghairu Mahdhah
Ibadah Mahdhah adalah ibadah
yang dari segi perkataan, perbuatan telah didesain oleh Allah SWT kemudian
diperintahkan kepada Rasulullah s.a.w. untuk mengerjakannya. Seperti shalat
fardu 5 kali, ibadah puasa ramadhan dan haji. Semuanya adalah bentuk paket dari
Allah turun kepada Rasulullah s.a.w. kemudian wajib ditirukan oleh
umatnya tanpa boleh menambah atau memperbaharui sedikit pun.
Ibadah
Mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetapkan
Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah
yang termasuk mahdhah, adalah: wudhu, tayammum, mandi hadats, shalat, shiyam (puasa),
haji, umrah.
Ibadah bentuk
ini memiliki 4 prinsip, yaitu:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil
perintah, baik
dari al-Quran maupun as-Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh
ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Haram kita melakukan ibadah ini
selama tidak ada perintah.
b. Tatacaranya harus berpola
kepada contoh Rasulullah s.a.w.. Salah satu tujuan diutus rasul oleh
Allah adalah untuk memberi contoh.
c.
Bersifat supra
rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan
ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya
berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah at-tasyrî’.
Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan
ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan
syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan
rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang
dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau
ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya,
semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan
salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.
Ibadah Ghairu Mahdhah adalah:
seluruh perilaku seorang hamba yang diorientasikan
untuk meraih ridha Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan
baku dari Rasulullah s.a.w..
Atau dengan kata
lain definisi dari Ibadah Ghairu Mahdhah atau umum ialah: segala amalan yang
diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir,
dakwah, tolong-menolong dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah
ini, ada 4:
a. Keberadaannya didasarkan atas tidak
adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang
maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan oleh
Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada
contoh Rasulullah s.a.w., Karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau
jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah,
maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam
ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini
baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya,
dapat ditentukan oleh
akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan,
dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d. Azasnya “Manfaat”, selama itu
bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
H.
Pengamalan
Hadits Dha’if
Hadits adalah sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik sabdanya, perbuatannya maupun
persetujuannya terhadap hal-hal yang dilakukan para Sahabat (taqrir). Tidak semua hadits dapat
diterima, sebab kadang dijumpai hadits-hadits palsu yang disandarkan kepada
Rasulullah Saw, sementara beliau tidak bersabda demikian. Karenanya ulama
membagi kriteria kualitas hadits menjadi tiga: shahih, hasan, dan dha’if.
Menurut istilah, yang
dimaksud hadits dha’if adalah hadits yang belum mengumpulkan sifat-sifat hadits
shohih dan tidak pula sifat-sifat hadits hasan. Sifat-sifat hadits hasan dan
shohih adalah : sanadnya bersambung, perawinya adil dan kuat hafalannya, tidak
menyelisihi hadits yang lebih kuat, dan tidak bercatat. Hadits dha’if menempati
posisi terendah dari macam-macam hadits.
Suatu hadits
dikategorikan menjadi dha’if dikarenakan
dua faktor, yaitu : internal, kedha’ifan pada diri perawi (seperti lemah
ingatannya, tidak diketahui perilaku, dan sebagainya), atau faktor eksternal,
berupa terputusnya sanad (mata rantai
para perawi yang menghubungkan hadits sampai pada Nabi Saw).
Hadits-hadits dhaif ini boleh diamalkan dalam masalah-masalah
keutamaan, memotivasi ibadah, dan mendorong agar tidak melakukan perbuatan
dosa.
I.
Bid’ah
Imam an-Nawawi (w. 676
H) dan Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H) mendefinisikan bid’ah dengan redaksi yang hampir sama
yaitu: “Melakukan sesuatu yang baru, yang tidak ditemukan di masa Rasulullah
Saw.”
Bid’ah secara bahasa berarti membuat
sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.(Dalam Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’
Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah). Hal ini sebagaimana dapat dilihat
dalam firman Allah,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am
[6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) yang mana tidak ada contoh pada
sebelumnya.
Juga firman-Nya,
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang
menyampaikan hal yang baru di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) ,
maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini dan menyampaikan
hal Baru (Melainkan Tauhid yang sama seperti Pendahuluku). Lisanul ‘Arob,
8/6 -Asy Syamilah
Definisi bid’ah secara istilah yang
paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al
I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ
تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي
التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan
dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at
(ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk
berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala
J.
Metode Istinbath Hukum Bahtsul
Masail NU
Kata istinbath
berasal dari kata “istanbatha” yang berarti “menemukan”, “menetapkan
atau mengeluarkan dari sumbernya. Sedangkan secara istilah adalah mengeluarkan
hukum-hukum fiqih dari al-Qur’an dan sunah melalui kerangka teori yang dipakai
oleh ulama ushul, sehingga suatu istinbath identik dengan ijtihad yang
oleh para ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang
disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang
harus dikuasai oleh namanya mujtahid. Sementara itu, istinbath dalam
pengertian yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang
telah memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang
baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath dikalangan NU terutama dalam
kerja baths al-masa’ilnya Syuriah tidak dilakukan karena
keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya, dipakai kalimat bahtsul masail yang
artinya membahas masalah-masalah waqi’ah yang terjadi melalui referensi
yaitu kutub al fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fiqh).
Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam empat
mazhab fiqih berpedoman pada sumber utama yaitu al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan
Qiyas. Ulama telah menetapkan metode dalam berijtihad di masing-masing mazhab.
Demikian halnya dalam mazhab Syafi’iyah yang lebih sering diikuti oleh
Nahdlatul Ulama (NU). Dalam operasionalisasinya NU telah menetapkan metodologi
dan sistematika menjawab problematika, sebagaimana ditetapkan dalam Munas Alim
Ulama NU di Lampung 1992.
1.4
Kesimpulan
1) Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan
ajaran yang sesuai dengan Rasulullah Muhammad Saw dan para sahabatnya, dan itu
tidak bisa hanya sebatas klaim semata, namun harus dibuktikan dalam sikap dan
tingkah laku sehari-hari.
2) Fiqih
merupakan sistem universal bagi semua umat manusia, bukan hanya bagi umat
Islam. Hal ini terbukti bahwa tidak ada suatu persoalanpun yang luput dari
sorotan hukum fiqih.
3) Ijtihad
dan taqlid adalah dua unsur utama yang menjadi bagian dari dinamika sejarah
fiqih Islam. Fiqih Islam dapat berkembang dengan pesat tidak lepas dari peran
para ulama yang melakukan ijtihad dan peran umat Islam yang bertaqlid terhadap
hasil ijtihad mereka.
4) Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam
bidang fiqih mengikuti salah satu dari mazhab empat yaitu mazhab yang dibangun
oleh Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, as-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
5) Talfiq adalah menggabungkan atau
mencampuradukkan satu persoalan dengan persoalan lain. Selain itu, dapat juga
diartikan menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Secara terminology,
talfiq adalah menyelesaikan satu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas
kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.
6) Sebab-sebab
terjadinya perbedaan pendapat/mazhab, diantaranya ialah perbedaan dalam sumber
hukum (mashdar al-ahkam); perbedaan dalam cara memahami nash dan; perbedaan
dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.
7) Ibadah
Mahdhah yaitu ibadah yang syarat, rukun, dan waktunya telah dijelaskan oleh
Rasulullah Saw. misalnya shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Sedangkan
ghairu mahdhah yaitu ibadah yang memiliki dalil secara umum, namun dalam pelaksanaannya
tidak diatur secara baku, misalnya zikir, sholawat, dan sebagainya.
8) Hadits-hadits
dhaif boleh diamalkan dalam
masalah-masalah keutamaan, memotivasi ibadah, dan mendorong agar tidak
melakukan perbuatan dosa.
9) Hadits-hadits
peringatan menjauhi bid’ah selalu
didahului dengan anjuran melakukan sunnah. Namun sesuatu yang baru yang
berdasarkan sunnah tidak masuk dalam kategori bid’ah yang sesat. Sesuatu yang
baru (bid’ah) ada dua, terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Bila sesuai dengan sunnah,
maka terpuji. Dan bila bertentangan dengan sunnah, maka tercela.
10) Dalam
operasionalisasinya NU telah menetapkan metodologi dan sistematika menjawab
problematika, sebagaimana ditetapkan dalam Munas Alim Ulama NU di Lampung 1992,
diantaranya tentang Ketentuan Umum, Sistem Pengambilan Keputusan Hukum (Prosedur
Penjawaban Masalah, Hirarki dan Sifat Keputusan Bahtsul Masail, Kerangka
Analisis Masalah), dan Petunjuk Pelaksanaan (Prosedur Pemilihan Qaul/Wajah,
Prosedur Ilhaq, Prosedur Istinbath).
DAFTAR
PUSTAKA
Abdillah, N. 2016. Madzhab dan Faktor Penyebab Terjadinya
Perbedaan diakses pada tanggal 24 Januari 2017.
Afriya. 2009. Pengamalan Hadits Dha’if Menurut Ulama. Diakses
pada tanggal 26 Januari 2017.
Amin, Ma’ruf. 2016. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU
Center PWNU.
Anti, H. 2014. Ushul
Fiqh Talfiq dalam Pandangan Ulama diakses pada tanggal 24 Januari. 2017 http://anthyscrub.blogspot.co.id/2014/10/ushul-fiqh-talfiq-dalam-pandangan-ulama.html
Belencong Islam. ___. Perlukah Bermazhab dalam Islam diakses
pada tanggal 24 Januari. 2017 http://belencong-islam.blogspot.co.id/p/perlukah-ber-mazhab-dalam-islam.html
Hariyanto, M. 2013. Memahami Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah diakses
pada tanggal 25 Januari 2017.
Library
Walisongo. 2006. Profil Bahtsul Masail NU
Wilayah Jawa Timur diakses pada tanggal 25 Januari 2017. http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1-2006-maratussho-853-BAB3_210-9.pdf
Misno. 2014. Redefinisi Ijtihad dan Taklid diakses pada tanggal 23 Januari 2017.
Santri Pondok Pesantren
Ngalah. 2011. Ensiklopedia Fiqih Jawabul
Masail Bermadzhab Empat Menjawab Masalah Lokal, Nasional dan Internasional. Pasuruan:
Pondok Pesantren Ngalah.
Wikipedia. 2016. Bid’ah
diakses pada tanggal 26 Januari 2017. https://id.wikipedia.org/wiki/Bidah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar