Kamis, 18 Januari 2018

FIQIH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH



1.1  Tujuan Penulisan
Artikel ini dibuat untuk membantu para pembaca memahami tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA), khususnya tentang Fiqih dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA). Ilmu fiqih sangatlah penting bagi umat beragama Islam, khususnya bagi para penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA). Maka dari itulah tujuan penulisan artikel ini dibuat.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah ?
2.      Bagaimanakah urgensitas ilmu fiqih dalam Islam ?
3.      Apakah yang dimaksud dengan ijtihad dan taklid ?
4.      Mengapa umat Islam bermazhab ?
5.      Apakah yang dimaksud dengan talfiq ?
6.      Apakah yang menjadi penyebab dalam perbedaan bermazhab ?
7.      Apakah itu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah ?
8.      Bolehkah hadits dha’if diamalkan ?
9.      Bagaimanakah hukum bid’ah ?
10.  Bagaimanakah metode istinbath Hukum Bahtsul Masail NU ?

1.3  Pembahasan
A.    Pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah
Aswaja merupakan singkatan dari istilah ahlun, as-sunnah, wa al-jama’ah, dari situ ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut:
1.      Ahlun berarti keluarga, golongan, atau pengikut.
2.      As-Sunnah yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapannya.
3.      Al-Jama’ah yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidin.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailany, “yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. (meliputi ucapan perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-jama’ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah Saw.”
Yang disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Saw, dan jalan para sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlaq hati. (al-Kawakib al-Lamma’ah, hal. 8-9).
Jadi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain ada tiga ciri khas kelompok ini, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Ketiga prinsip tersebut adalah tawassuth yaitu sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan, prinsip tawazzun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil aqli dan dalil naqli), dan i’itidal (tegak lurus).
B.     Urgensitas Ilmu Fiqih
Unsur utama yang menjadi pilar ajaran Islam adalah fiqih. Urgensitas ilmu Fiqih dalam Islam tidak diragukan lagi. Ia adalah sistem kehidupan yang memiliki kesempurnaan, keabadian, dan sekian banyak keistimewaan. Ia menghimpun dan merajut tali pesatuan umat Islam. Ia menjadi sumber kehidupan mereka. Umat Islam akan hidup selama hukum-hukum fiqih masih direalisasikan. Mereka akan mati apabila pengamalan fiqih telah sirna dari muka bumi. Fiqih juga bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kehidupan mereka di mana pun mereka berada, Ia menjadi salah satu kebanggaan terbesar umat Islam.
Hal ini tidak lepas dari sekian banyak karakter dan keistimewaan fiqih yang membedakannya dengan undang-undang positif produk pemikiran manusia. Pertama, fiqih memiliki pondasi wahyu ilahi. Kedua, fiqih besifat uniersal. Ketiga, fiqih berkaitan dengan etika. Selain itu fiqih juga menjadi pendorong dan penggerak terpeliharanya keutamaan, terealisasinya idealisme yang luhur, dan termanifestasinya etika yang lurus.

C.    Ijtihad dan Taklid
Pembicaraan tentang fiqih Islam tidak akan sempurna tanpa membicarakan ijtihad dan taqlid.
                                      I.     Pengertian Ijtihad
Secara etimologi kata ijtihad ( اجتھاد ) berasal dari kata al-jahd, al juhd, ( الجھد ) dan ath-thaqat, yang artinya kesulitan, kesusahan, dan juga berupa suatu kesanggupan atau kemampuan (almasyaqat). Kata Al-Juhd menunjukkan pekerjaan yang sulit dilakukan,(lebih dari pekerjaan biasa). Sedangkan kata ijtihad yaitu bentuk mashdar tsulatsi mazid dari kata kerja ijtahada-yajtahidu-ijtiihaadan yang berarti جدّ و بذل وسعھا , bersungguhsungguh dan mencurahkan segala kemampuannya, kata ijtihad juga bermakna kesungguhan, kegiatan dan ketekunan.
Imam Al-Jauhari menyebutkan bahwa kata “Al-Jahdu dan al-Juhdu” kedua-duanya memiliki arti kemampuan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
 الَّذِينَ يلَْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لا يَجِدُونَ إِلا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلهَمُْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
…(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orangorang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih. QS At-Taubah : 79.
                                                ijtihad secara bahasa memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan istilah syara’ yaitu :
بذْلُ الجْهدِ لِإِدراكِ أَمرٍ شاقٍّ
Mengerahkan kesungguhan untuk memperoleh suatu perkara yang berat.
Sedangkan ijtihad secara istilah adalah “Mencurahkan semua kemampuan untuk mencari (jawaban) hukum yang bersifat dzanni, hingga merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.”
                              II.          Pengertian Taklid
Taklid atau Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut Muqallid.
Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya dan azimah-azimahnya dalam semua urusan agamanya. Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.
Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.
Pada dasarnya hukum asal dari taklid adalah dilarang, ia menjadi dibolehkan ketika seseorang tidak mampu untuk berijtihad dan menggunakan potensi akalnya dalam memahami nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.

D.    Mengapa Umat Islam Bermazhab ?
Sebagai keniscayaan dari fenomena ijtihad dan taklid yang menjadi realitas keagamaan kaum Muslimin sepanjang masa, adalah lahinya tradisi bermazhab. Mazhab terbentuk dari banyak persoalan yang menjadi perselisihan di kalangan ulama. Lalu hasil pendapat ulama itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Secara bahasa arti mazhab adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata zahaba - yazhabu – zihaaban. Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut. Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiyah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqih.
Mazhab Tidak Hanya Empat Saja Sesungguhnya mazhab fiqih itu bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini memang hanya 4 saja.
a)      Pentingnya Bermazhab
Banyak orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu berarti sama dengan perpecahan, sebagaimana berpecah umat lain dalam sekte-sekte. Sehingga ada dari sebagian umat Islam yang menjauhkan diri dari bermazhab, bahkan ada yang sampai anti mazhab.
Penggambaran yang absurd tentang mazhab ini terjadi karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar tentang hakikat mahzab fiqih. Kenyataannya sebenarnya tidak demikian. Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi dari perpecahan atau pereseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam.
Sebaliknya, adanya mazhab itu memang merupakan kebutuhan asasi untuk bisa kembali kepada Al-Quan dan As-Sunnah. Kalau ada seorang bernama MasPaijo, mas Paimin, mas Tugirin dan mas Wakijan bersikap yang anti mazhab dan mengatakan hanya akan menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah saja, sebenarnya mereka masing-masing sudah menciptakan sebuah mazhab baru, yaitu mazhab Al-Paijoiyah, Al-Paiminiyah, At-Tugiriniyah dan Al-Wakijaniyah.
Sebab yang namanya mazhab itu adalah sebuah sikap dan cara seseorang dalam memahami teks Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap orang yang berupaya untuk memahami kedua sumber ajaran Islam itu, pada hakikatnya sedang bermazhab.
Kalau tidak mengacu kepada mazhab orang lain yang sudah ada, maka minimal dia mengacu kepada mazhab dirinya sendiri. Walhasil, tidak ada di dunia ini orang yang tidak bermazhab. Semua orang bermazhab, baik dia sadari atau tanpa disadarinya.
b)     Lalu bolehkah seseorang mendirikan mazhab sendiri?
Jawabnya tentu saja boleh, asalkan dia mampu meng-istimbath (menyimpulkan) sendiri setiap detail ayat Al-Quran dan As-sunnah. Kalau kita buat sedikit perumpamaan dengan dunia komputer, maka adanya mazhab-mazhab itu ibarat seseorang dalam berkomputer, di mana setiap orang pastimemerlukan sistem operasi (OS).
Tidak mungkin seseorang menggunakan komputer tanpa sistem operasi, baik Windows, Linux, Mac OS atau yang lainnya. Adanya beragam sistem operasi di dunia komputer menjadi hal yang mutlak bagi setiap user, sebab tanpa sistem operasi, manusia hanya bicara dengan mesin.

E.     Talfiq
Kata talfiq dalam bahasa Arab merupakan bentuk isim masdar dari لفّق-
 يلفًق - تلفيقا   yang secara etimologi berarti mencampuradukkan atau menggabungkan satu persoalan dengan persoalan lain. Atau, talfiq juga diartikan menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda.
Talfiq menurut terminologinya berarti
العمل في المسئلة بحكم مؤ لف من مجموع مذ هبين فاكثر
Artinya:
“Menyelesaikan satu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.”
Seperti talfiq dalam masalah persyaratan sahnya nikah, yaitu dengan cara: mengenai persyaratan wali nikah mengikuti satu mazhab tertentu, sedangkan mengenai persyaratan penyebutan mahar mengikuti mazhab yang lain.

F.     Perbedaan Mazhab
Di satu sisi, mengikuti salah satu mazhab empat menjadi suatu keharusan bagi kaum Muslimin. Akan tetapi di sisi lain, kita dapati, diantara mazhab-mazhab empat ada sekian banyak perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat diantara mazhab fiqih yang empat memang banyak sekali terjadi dan menjadi realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi apabila dicermati, perbedaan pendapat itu bukan unsur kekurangan dan sumber  malapetaka bagi kaum Muslimin. Bahkan sebaliknya, perbedaan pendapat itu termasuk unsur kesempurnaan syariat Islam dan menjadi rahmat bagi kaum Muslimin.
Mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Munculnya mazhab, sebagai bagian dari proses sejarah penetapan hukum islam tertata rapi dari generasi sahabat, tabi’in, hingga mencapai masa keemasaan pada khilafah Abbasiyah, akan tetapi harus diakui madzhab telah memberikan sumbangsih pemikiran besar dalam penetapan hukum fiqh Islam.Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/mazhab dikarenakan perbedaan persepsi dalam ushul fiqh dan fiqh serta perbedaan interpretasi atau penafsiran mujtahid.Menganut paham untuk bermahzab, dikarenakan faktor “ketidakmampuan” kita untuk menggali  hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Bermadzhab secara benar dapat ditempuh dengan cara memahami bahwa sungguhnya pemahaman kita terhadap perbedaan pendapat di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam.
Berikut penjelasan penyebab terjadinya perbedaan, metode penetapan penggalian hukum (thariqah al-istinbath) di kalangan Imam mujtahid. Dimana bisa disimpulkan secara garis besar meliputi;
Pertama: perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkam);
Kedua: perbedaan dalam cara memahami nash dan;
Ketiga: perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.

G.    Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah
Ibadah Mahdhah adalah ibadah yang dari segi perkataan, perbuatan telah didesain oleh Allah SWT kemudian diperintahkan kepada Rasulullah s.a.w. untuk mengerjakannya. Seperti shalat fardu 5 kali, ibadah puasa ramadhan dan haji. Semuanya adalah bentuk paket dari Allah turun kepada Rasulullah s.a.w. kemudian  wajib ditirukan oleh umatnya tanpa boleh menambah atau memperbaharui sedikit pun.
Ibadah Mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang apa saja yang telah ditetapkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah: wudhu, tayammum, mandi hadats, shalat, shiyam (puasa), haji, umrah.
Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip, yaitu:
a.  Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Haram kita melakukan ibadah ini selama tidak ada perintah.
b.  Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasulullah s.a.w.. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh.
c.   Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah at-tasyrî’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d.  Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.

Ibadah Ghairu Mahdhah  adalah: seluruh perilaku seorang hamba yang diorientasikan untuk meraih ridha Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan baku dari Rasulullah s.a.w..
Atau dengan kata lain definisi dari Ibadah Ghairu Mahdhah atau umum ialah: segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong-menolong dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a.      Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
b.      Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah s.a.w., Karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka  bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c.       Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d.      Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.

H.    Pengamalan Hadits Dha’if
Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik sabdanya, perbuatannya maupun persetujuannya terhadap hal-hal yang dilakukan para Sahabat (taqrir). Tidak semua hadits dapat diterima, sebab kadang dijumpai hadits-hadits palsu yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, sementara beliau tidak bersabda demikian. Karenanya ulama membagi kriteria kualitas hadits menjadi tiga: shahih, hasan, dan dha’if.
Menurut istilah, yang dimaksud hadits dha’if adalah hadits yang belum mengumpulkan sifat-sifat hadits shohih dan tidak pula sifat-sifat hadits hasan. Sifat-sifat hadits hasan dan shohih adalah : sanadnya bersambung, perawinya adil dan kuat hafalannya, tidak menyelisihi hadits yang lebih kuat, dan tidak bercatat. Hadits dha’if menempati posisi terendah dari macam-macam hadits.
Suatu hadits dikategorikan menjadi dha’if dikarenakan dua faktor, yaitu : internal, kedha’ifan pada diri perawi (seperti lemah ingatannya, tidak diketahui perilaku, dan sebagainya), atau faktor eksternal, berupa terputusnya sanad (mata rantai para perawi yang menghubungkan hadits sampai pada Nabi Saw).
Hadits-hadits dhaif  ini boleh diamalkan dalam masalah-masalah keutamaan, memotivasi ibadah, dan mendorong agar tidak melakukan perbuatan dosa.

I.       Bid’ah
Imam an-Nawawi (w. 676 H) dan Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H) mendefinisikan bid’ah dengan redaksi yang hampir sama yaitu: “Melakukan sesuatu yang baru, yang tidak ditemukan di masa Rasulullah Saw.”
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.(Dalam Al Mu’jam Al Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah). Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) yang mana tidak ada contoh pada sebelumnya.
Juga firman-Nya,
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang menyampaikan hal yang baru di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini dan menyampaikan hal Baru (Melainkan Tauhid yang sama seperti Pendahuluku). Lisanul ‘Arob, 8/6 -Asy Syamilah
Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala
J.      Metode Istinbath Hukum Bahtsul Masail NU
Kata istinbath berasal dari kata “istanbatha” yang berarti “menemukan”, “menetapkan atau mengeluarkan dari sumbernya. Sedangkan secara istilah adalah mengeluarkan hukum-hukum fiqih dari al-Qur’an dan sunah melalui kerangka teori yang dipakai oleh ulama ushul, sehingga suatu istinbath identik dengan ijtihad yang oleh para ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh namanya mujtahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertian yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath dikalangan NU terutama dalam kerja baths al-masa’ilnya Syuriah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya, dipakai kalimat bahtsul masail yang artinya membahas masalah-masalah waqi’ah yang terjadi melalui referensi yaitu kutub al fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fiqh).
Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam empat mazhab fiqih berpedoman pada sumber utama yaitu al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Ulama telah menetapkan metode dalam berijtihad di masing-masing mazhab. Demikian halnya dalam mazhab Syafi’iyah yang lebih sering diikuti oleh Nahdlatul Ulama (NU). Dalam operasionalisasinya NU telah menetapkan metodologi dan sistematika menjawab problematika, sebagaimana ditetapkan dalam Munas Alim Ulama NU di Lampung 1992.
           
1.4 Kesimpulan
1)      Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang sesuai dengan Rasulullah Muhammad Saw dan para sahabatnya, dan itu tidak bisa hanya sebatas klaim semata, namun harus dibuktikan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari.
2)      Fiqih merupakan sistem universal bagi semua umat manusia, bukan hanya bagi umat Islam. Hal ini terbukti bahwa tidak ada suatu persoalanpun yang luput dari sorotan hukum fiqih.
3)      Ijtihad dan taqlid adalah dua unsur utama yang menjadi bagian dari dinamika sejarah fiqih Islam. Fiqih Islam dapat berkembang dengan pesat tidak lepas dari peran para ulama yang melakukan ijtihad dan peran umat Islam yang bertaqlid terhadap hasil ijtihad mereka.
4)      Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam bidang fiqih mengikuti salah satu dari mazhab empat yaitu mazhab yang dibangun oleh Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, as-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
5)      Talfiq adalah menggabungkan atau mencampuradukkan satu persoalan dengan persoalan lain. Selain itu, dapat juga diartikan menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Secara terminology, talfiq adalah menyelesaikan satu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.
6)      Sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat/mazhab, diantaranya ialah perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkam); perbedaan dalam cara memahami nash dan; perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.
7)      Ibadah Mahdhah yaitu ibadah yang syarat, rukun, dan waktunya telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw. misalnya shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Sedangkan ghairu mahdhah yaitu ibadah yang memiliki dalil secara umum, namun dalam pelaksanaannya tidak diatur secara baku, misalnya zikir, sholawat, dan sebagainya.
8)      Hadits-hadits dhaif boleh diamalkan dalam masalah-masalah keutamaan, memotivasi ibadah, dan mendorong agar tidak melakukan perbuatan dosa.
9)      Hadits-hadits peringatan menjauhi bid’ah selalu didahului dengan anjuran melakukan sunnah. Namun sesuatu yang baru yang berdasarkan sunnah tidak masuk dalam kategori bid’ah yang sesat. Sesuatu yang baru (bid’ah) ada dua, terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Bila sesuai dengan sunnah, maka terpuji. Dan bila bertentangan dengan sunnah, maka tercela.
10)  Dalam operasionalisasinya NU telah menetapkan metodologi dan sistematika menjawab problematika, sebagaimana ditetapkan dalam Munas Alim Ulama NU di Lampung 1992, diantaranya tentang Ketentuan Umum, Sistem Pengambilan Keputusan Hukum (Prosedur Penjawaban Masalah, Hirarki dan Sifat Keputusan Bahtsul Masail, Kerangka Analisis Masalah), dan Petunjuk Pelaksanaan (Prosedur Pemilihan Qaul/Wajah, Prosedur Ilhaq, Prosedur Istinbath).

DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, N. 2016. Madzhab dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan diakses pada tanggal 24 Januari 2017.
Afriya. 2009. Pengamalan Hadits Dha’if Menurut Ulama. Diakses pada tanggal 26 Januari 2017.
Amin, Ma’ruf. 2016. Khazanah Aswaja. Surabaya: Aswaja NU Center PWNU.
Anti, H. 2014. Ushul Fiqh Talfiq dalam Pandangan Ulama diakses pada tanggal 24 Januari. 2017 http://anthyscrub.blogspot.co.id/2014/10/ushul-fiqh-talfiq-dalam-pandangan-ulama.html
Belencong Islam. ___. Perlukah Bermazhab dalam Islam diakses pada tanggal 24 Januari. 2017 http://belencong-islam.blogspot.co.id/p/perlukah-ber-mazhab-dalam-islam.html
Hariyanto, M. 2013. Memahami Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah diakses pada tanggal 25 Januari 2017.
Library Walisongo. 2006. Profil Bahtsul Masail NU Wilayah Jawa Timur diakses pada tanggal 25 Januari 2017. http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/18/jtptiain-gdl-s1-2006-maratussho-853-BAB3_210-9.pdf
  Misno. 2014. Redefinisi Ijtihad dan Taklid diakses pada tanggal 23 Januari 2017.
Santri Pondok Pesantren Ngalah. 2011. Ensiklopedia Fiqih Jawabul Masail Bermadzhab Empat Menjawab Masalah Lokal, Nasional dan Internasional. Pasuruan: Pondok Pesantren Ngalah.
Wikipedia. 2016. Bid’ah diakses pada tanggal 26 Januari 2017. https://id.wikipedia.org/wiki/Bidah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar