Di kalangan para pemerhati dan
praktisi pendidikan masih ada yang berbeda pandang dalam menyikapi maksudnya
wilayah agama dalam konteks pendidikan multicultural, sebagaimana dapat dikaji
dari pandangan Bowker dan Sonhaji yang menyatakan bahwa wilayah agama adalah
merupakan persoalan yang paling sensitive bagi setiap kelompok keagamaan. Ini
yang menyebabkan adanya kekhawatiran ketika wilayah multicultural meraba pada
wilayah agama, akan menyebabkan adanya konfrontasi dan toleransi berkembang
menjadi intoleransi. Akibat lain dari hal tersebut adalah hilangnya “kompromi”
dan “consensus” sebagai kata kunci sosial dalam memahami masyarakat. Disamping
dua kata tersebut semangat “negisoasi” dimungkinkan juga akan ikut hilang. Oleh
karena itu Sonhaji, untuk menggulirkan gagasan pendidikan multicultural dalam
konteks Indonesia, lebih aman difokuskan pada unsur etnis dan derivasinya
seperti komposisi etnis kominitas setempat, filosofi hidup masing-masing etnis,
bahasa dan tradisi yang digunakan dengan tanpa melihatkan unsur agama.
2.1 Pengertian Multikulturalisme
Banyak ahli berbeda dalam memahami
multikulturalisme. Ada yang cukup menyebut, bahwa multikulturalisme identik
dengan keragaman cultural dan kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar
kata dari multikulturalsme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat
dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks
pembangunan bangsa, istilah multicultural ini telah membentuk suatu ideology
yang disebut multikulturalisme.
Ada pula yang menyebut, bahwa konsep
multikulturalsme tidaklah dapat disamakan atau diidentikkan dengan konsep
keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri
masyarakat majemuk atau pluralistic, karena multikulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan atau keanekaragaman dalam
berbudaya.
Multikulturalisme berhubungan dengan
kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki
kepentingan tertentu sebagaimana berikut :
1.
“Multikulturalisme” pada dasarnya
adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai
kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan,
pluralitas, dan multicultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian
diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007)
2.
Masyarakat multikultural adalah
suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan
segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu
system arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan.
(Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007)
3.
Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman,
penghargaan, serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan
dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip
Lubis, 2006:174)
4.
Multikulturalisme bisa menjadi
sebuah ideology yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kederajatan baik
secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006,
Jari dan Jary 1991, Watson 2000)
5.
Multikulturalisme mencakup gagasan,
cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu Negara,
yang majemuk dari segi etnis budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai
cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai
kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007,
mengutip M. Atho’ Muzhar)
Berdasarkan
pemikiran tersebut, dapat dipahami bahwa multikulturalisme pada dasarnya
merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui
keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, ras. agama, dan bahasa.
Multikulturalisme menjadi gambaran dari keragaman yang terjadi dan berkembang
di tengah masyarakat atau suatu bangsa di muka bumi ini.
Multikulturalisme juga sebuah konsep yang memberikan pemahaman, bahwa
sebuah bangsa yang plural adalah bangsa terdiri dari beberapa etnis, budaya,
agama, tradisi dan bahasa yang bermacam-macam, yang dapat hidup berdampingan
dan saling menghormati dalam suasana damai dan rukun (coexistence).
2.2 Agama (Islam) dalam Multikulturalisme
Keterlibatan pemimpin lembaga pendidikan keagamaan dalam berbagai kegiatan
akademik, menunjukkan secara jelas bahwa pengakuan akan keberagaman budaya yang
ada di masyarakat memiliki fungsi penting dalam menyebarluaskan misi rahmah li
al-‘alamin bagi kehidupan sosial. Setidaknya ketika berkembang
pertanyaan bagaimana pendidikan multicultural dalam agama Islam, maka terdapat
beberapa prinsip yang menggunakan antara lain :
1.
Islam adalah agama yang universal,
Islam bukan diperuntukkan bagi salah satu suku bangsa, etnis tertentu, atau
golongan tertentu
2.
Islam menghargai agama-agama dan
kepercayaan agama lain, Islam juga mengajarkan tidak ada pemaksaan dalam
beragama.
3.
Islam merupakan agama yang terbuka
untuk diuji kebenarannya.
4.
Islam menegaskan bahwa
keanekaragaman dalam kehidupan umat manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai
dari jenis kelamin, suku, dan bangsa yang beraneka ragam, justru dapat dari
perbedaan itu yang melahirkan sikap saling mengenal (ta’aruf).
Para ahli
antropolog seperti Geertz memandang agama sebagai salah satu unsur kebudayaan.
Menurutnya, manusia mempunyai akal pikiran dan sistem pengetahuan yang
digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama.
Sementara pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakikat
dari ayat-ayat dalam kitab suci masing-masing agama. Manusia hanya dapat
menafsirkan ayat-syat suci sesuai dengan kemampuan yang ada. Dalam konteks ini,
Tibi dalam menguatkan pendapat Geertz menyatakan, bahwa agama bersifat cultural
dan oleh karena itu agama merupakan kumpulan dari simbol-simbol dan
sistem-sistem. Agama sebagai model for reality tidak bisa ditembus
secara eksperimental tetapi harus secara interpretatif. Agama merupakan sistem
keyakinan individu yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran dan
diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadat)
yang bersifat pribadi maupun kelompok yang melibatkan sebagian atau seluruh
masyarakat.
Sebenarnya,
secara horizontal, agama merupakan media untuk bersosialisasi, hal ini tidak
menemukan permasalahan pelik ketika berhadapan dengan orang-orang satu ideologi,
permasalahan pelik muncul ketika berhadapan dengan orang-orang yang beda
ideologi, karena masing-masing agama mempunyai prinsip-prinsip ajaran yang
berbeda satu sama lain, disinilah diperlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan
sikap saling menghormati antara pemeluk agama satu dengan yang lain. Dalam
istilah teknisnya dikenal dengan toleransi terhadap keyakinan, tingkah laku,
dan adat- istiadat yang berbeda dari apa yang dimiliki seseorang.
2.3 Bagaimanakah
Agama (Islam) menyikapi dan mengapresiasi Multikulturalisme ?
Dalam kitab suci Al-Qur’an maupun
sunnah Rasulullah dan kasus- kasus sejarah (Islam), banyak teks dan data yang
dapat kita gunakan sebagai landasan multikulturalisme Islam, antara lain:
Dalam Q.S al hujuraat: 13 yang
artinya “Hai manusia sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang
paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui dan Maha
Mengenal.”
Al-Zuhaily, dalam Tafsir al-Munir-nya mengutip hadis riwayat Muslim dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra.
Bahwa Rasulullah SAW bersabda:”Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada warnamu
dan harta kekayaanmu, tetapi melihat kepada hatimu dan amal perbuatanmu.”
Hadis-hadis yang menganjurkan umat
manusia untuk saling
menghormati, meskipun mereka mempunyai perbedaan-perbedaan etnis, budaya,
keyakinan, dan lain-lain seperti itu banyak sekali, bahkan yang dicontohkan
dalam kehidupan pribadi atau keluarga Rasulullah SAW sendiri.
“Ta’aruf” (saling menggenal)
merupakan indikasi positif dalam suatu masyarakat plural untuk hidup bersama,
saling menghormati dan saling menerima perbedaan yang ada diantara mereka.
Ta’aruf menjadi gerbang kultural yang memberi akses melakukan langkah-langkah
berikutnya dalam membangun kebersamaan kehidupan kultural, melalui
karakter-karakter inklusif seperti “Tasamuh” (Toleransi), “Tawassuth”
(Moderat), “Ta’awun” (Tolong-menolong), “Tawazun” (Harmoni). Hal-hal tersebut
disebut sebagai “akar-akar nilai inklusif” dari Multikulturalisme Islam.
Al-Maroghy, dalam Tafsirnya mengutip
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW
berkhutbah diatas ontanya waktu Fathu Makah: “wahai manusia, sesungguhnya allah
menghapus kesombongan jahiliyah, dan kebangsaanya terhadap bapak-bapaknya.
Manusia ada dua macam: orang yang baik, bertakwa dan terhormat menurut Allah, dan orang yang
durhaka, celaka dan hina menurut pandangan Allah Ta’ala.“
Sumber : Hasan, Muhammad Tholchah. 2016. Pendidikan Multikultural Sebagai
Opsi Penanggulangan Radikalisme. Malang: UNISMA.
Sulalah. 2011. Pendidikan Multikultural. Malang: UIN-MALIKI
PRESS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar