Kamis, 18 Januari 2018

AGAMA (ISLAM) DAN MULTIKULTURAL



Di kalangan para pemerhati dan praktisi pendidikan masih ada yang berbeda pandang dalam menyikapi maksudnya wilayah agama dalam konteks pendidikan multicultural, sebagaimana dapat dikaji dari pandangan Bowker dan Sonhaji yang menyatakan bahwa wilayah agama adalah merupakan persoalan yang paling sensitive bagi setiap kelompok keagamaan. Ini yang menyebabkan adanya kekhawatiran ketika wilayah multicultural meraba pada wilayah agama, akan menyebabkan adanya konfrontasi dan toleransi berkembang menjadi intoleransi. Akibat lain dari hal tersebut adalah hilangnya “kompromi” dan “consensus” sebagai kata kunci sosial dalam memahami masyarakat. Disamping dua kata tersebut semangat “negisoasi” dimungkinkan juga akan ikut hilang. Oleh karena itu Sonhaji, untuk menggulirkan gagasan pendidikan multicultural dalam konteks Indonesia, lebih aman difokuskan pada unsur etnis dan derivasinya seperti komposisi etnis kominitas setempat, filosofi hidup masing-masing etnis, bahasa dan tradisi yang digunakan dengan tanpa melihatkan unsur agama.

2.1 Pengertian Multikulturalisme

      Banyak ahli berbeda dalam memahami multikulturalisme. Ada yang cukup menyebut, bahwa multikulturalisme identik dengan keragaman cultural dan kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalsme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multicultural ini telah membentuk suatu ideology yang disebut multikulturalisme.
      Ada pula yang menyebut, bahwa konsep multikulturalsme tidaklah dapat disamakan atau diidentikkan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk atau pluralistic, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan atau keanekaragaman dalam berbudaya.
      Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu sebagaimana berikut :
1.      “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multicultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007)
2.      Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu system arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan. (Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007)
3.       Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan, serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174)
4.      Multikulturalisme bisa menjadi sebuah ideology yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000)
5.      Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu Negara, yang majemuk dari segi etnis budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar)
Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dipahami bahwa multikulturalisme pada dasarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, ras. agama, dan bahasa. Multikulturalisme menjadi gambaran dari keragaman yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat atau suatu bangsa di muka bumi ini.
Multikulturalisme juga sebuah konsep yang memberikan pemahaman, bahwa sebuah bangsa yang plural adalah bangsa terdiri dari beberapa etnis, budaya, agama, tradisi dan bahasa yang bermacam-macam, yang dapat hidup berdampingan dan saling menghormati dalam suasana damai dan rukun (coexistence).

2.2 Agama (Islam) dalam Multikulturalisme

Keterlibatan pemimpin lembaga pendidikan keagamaan dalam berbagai kegiatan akademik, menunjukkan secara jelas bahwa pengakuan akan keberagaman budaya yang ada di masyarakat memiliki fungsi penting dalam menyebarluaskan misi rahmah li al-‘alamin bagi kehidupan sosial. Setidaknya ketika berkembang pertanyaan bagaimana pendidikan multicultural dalam agama Islam, maka terdapat beberapa prinsip yang menggunakan antara lain :
1.      Islam adalah agama yang universal, Islam bukan diperuntukkan bagi salah satu suku bangsa, etnis tertentu, atau golongan tertentu
2.      Islam menghargai agama-agama dan kepercayaan agama lain, Islam juga mengajarkan tidak ada pemaksaan dalam beragama.
3.      Islam merupakan agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya.
4.      Islam menegaskan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan umat manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin, suku, dan bangsa yang beraneka ragam, justru dapat dari perbedaan itu yang melahirkan sikap saling mengenal (ta’aruf).
Para ahli antropolog seperti Geertz memandang agama sebagai salah satu unsur kebudayaan. Menurutnya, manusia mempunyai akal pikiran dan sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Sementara pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakikat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing-masing agama. Manusia hanya dapat menafsirkan ayat-syat suci sesuai dengan kemampuan yang ada. Dalam konteks ini, Tibi dalam menguatkan pendapat Geertz menyatakan, bahwa agama bersifat cultural dan oleh karena itu agama merupakan kumpulan dari simbol-simbol dan sistem-sistem. Agama sebagai model for reality tidak bisa ditembus secara eksperimental tetapi harus secara interpretatif. Agama merupakan sistem keyakinan individu yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadat) yang bersifat pribadi maupun kelompok yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat.
Sebenarnya, secara horizontal, agama merupakan media untuk bersosialisasi, hal ini tidak menemukan permasalahan pelik ketika berhadapan dengan orang-orang satu ideologi, permasalahan pelik muncul ketika berhadapan dengan orang-orang yang beda ideologi, karena masing-masing agama mempunyai prinsip-prinsip ajaran yang berbeda satu sama lain, disinilah diperlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan sikap saling menghormati antara pemeluk agama satu dengan yang lain. Dalam istilah teknisnya dikenal dengan toleransi terhadap keyakinan, tingkah laku, dan adat- istiadat yang berbeda dari apa yang dimiliki seseorang.   

2.3 Bagaimanakah Agama (Islam) menyikapi dan mengapresiasi Multikulturalisme ?

            Dalam kitab suci Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah dan kasus- kasus sejarah (Islam), banyak teks dan data yang dapat kita gunakan sebagai landasan multikulturalisme Islam, antara lain:
            Dalam Q.S al hujuraat: 13 yang artinya “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.”
            Al-Zuhaily, dalam Tafsir al-Munir-nya mengutip hadis riwayat Muslim dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:”Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada warnamu dan harta kekayaanmu, tetapi melihat kepada hatimu dan amal perbuatanmu.”
            Hadis-hadis yang menganjurkan umat manusia untuk saling menghormati, meskipun mereka mempunyai perbedaan-perbedaan etnis, budaya, keyakinan, dan lain-lain seperti itu banyak sekali, bahkan yang dicontohkan dalam kehidupan pribadi atau keluarga Rasulullah SAW sendiri.
            “Ta’aruf” (saling menggenal) merupakan indikasi positif dalam suatu masyarakat plural untuk hidup bersama, saling menghormati dan saling menerima perbedaan yang ada diantara mereka. Ta’aruf menjadi gerbang kultural yang memberi akses melakukan langkah-langkah berikutnya dalam membangun kebersamaan kehidupan kultural, melalui karakter-karakter inklusif seperti “Tasamuh” (Toleransi), “Tawassuth” (Moderat), “Ta’awun” (Tolong-menolong), “Tawazun” (Harmoni). Hal-hal tersebut disebut sebagai “akar-akar nilai inklusif” dari Multikulturalisme Islam.
            Al-Maroghy, dalam Tafsirnya mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW berkhutbah diatas ontanya waktu Fathu Makah: “wahai manusia, sesungguhnya allah menghapus kesombongan jahiliyah, dan kebangsaanya terhadap bapak-bapaknya. Manusia ada dua macam: orang yang baik, bertakwa  dan terhormat menurut Allah, dan orang yang durhaka, celaka dan hina menurut pandangan Allah Ta’ala.“


Sumber : Hasan, Muhammad Tholchah. 2016. Pendidikan Multikultural Sebagai Opsi        Penanggulangan Radikalisme. Malang: UNISMA.
        Sulalah. 2011. Pendidikan Multikultural. Malang: UIN-MALIKI PRESS.
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar